Kamis, 15 Agustus 2013

Life buzz part-2

Ini bagian kedua! Sebenarnya tidak terencana, sekedar ingin mengungkapkan pikiran saya saja. Saya sadari akhir-akhir ini sosial media seakan-akan jadi salah satu pusat hidup saya (a little bit embarassing ujung-ujungnya), terutama twitter.
Am not a social butterfly atau twit-junkie yang bisa nge-twit setiap harinya. Saya cukup jadi pengamat, bukan kepo, tapi saya sadar banyak hal yang baru yang kita ketahui dari twit orang lain, of course it's none of their personal bussiness. Saya suka mantengin timeline yang membahas isu-isu sosial masa kini (though  i am not a  very social person), bahkan yang diistilahkan dengan twitwar, terkadang sangat menggoda untuk disimak. I was like a spectator of the Gladiators fought in Colloseum.
Oke mengenai twitter, kalau menurut saya itu sebagai salah satu jendela informasi, menurut orang lain mungkin beda lagi. I really don't know to say this phenomenon. Tapi orang-orang di twitter cenderung menunjukkan sisi manusianya (agak filosofis) ingin didengar, ingin diperhatikan, sebagian mungkin ingin kepo, sebagian mungkin berharap orang yang mantengin twitnya akan berkata oohhh, jadi si A begini, hebat... jadi dia punya beginian..kereen dan lain-lain. Saya juga suka kok mantengin timeline orang-orang (karena Lalita saya terpengaruh psikoanalisa) what they're thinking, how's their outer and visible character.
Kemarin sekali saya baru mantengin TL seorang seniman. Tertarik sekali membaca his piece of mind tentang  IQ Melati, saya kurang tahu kenapa disematkan kata 'Melati'. Cocok sekali dengan apa yang pernah saya alami. Sang seniman mungkin sedikit kecewa dengan oknum-oknum yang -- kalau menurut saya dan yang saya tangkap-- sedikit meremehkan profesinya. Sang seniman memberikan contoh seperti ini: Dalam pembangunan sebuah jembatan hanya diperlukan pandangan seorang ahli sipil dan mengabaikan pandangan dari seorang seniman. Intinya segala sesuatu sebenarnya dapat dipandang berbagai sisi oleh orang yang berbeda-beda keahlian, anak teknik sipil mungkin melihat jembatan tersebut dari segi struktur dan ketahanannya, sedangkan seorang seniman mungkin melihat sisi estetikanya (o God i ain't no knowing anything about the aesthetic aspects) kegunaanya, arti nilainya. 
And that was happened to me. Like i said before, am not a social butterfly (that's what makes me a little bit calmer and literally tend to not deliver what i've thought), and i'm really considerate about what other people feel. Di kampus sang rektor berkata, "..kita ini anak teknik yang mempelajari ilmu pasti. Kalau di kita, satu ditambah satu pasti sama dengan dua, itu tidak terbantahkan, tapi bagi fakultas sosial, satu ditambah dengan satu belum tentu bernilai dua." Bahkan ada yang bilang.."kamu disini belajar kalkulus, matematika, kalau fakultas sebelah cuma nambah-nambah dan pengurangan". Tentu saja saya tidak pernah menyatakan ini di depan teman-teman saya secara  i'm not too good in math dan lagi seandainya saya anak 'fakultas sebelah' saya mungkin merasa tersinggung karena seakan-akan diremehkan dalam matematika (maunya apasih).
Saya mencoba mengingat-ingat pernahkah saya meyombong di depan teman-teman tentang ilmu yang saya dapatkan (ketika sedang adu argumentasi mengenai sebuah topik). Mungkin sekali pernah (menurut mereka). 
Suatu kali saya beradu argumentasi dengan seorang teman mengenai isu politik yang sedang menghangat dan itu mengenai ilmu ekonomi. Dan begitulah saya langsung kicep ketika dia berkata dia anak ekonomi  yang diartikan sudah tentu dia yang lebih tahu secara teoritis (kami membicarakan how to, the ways out bukan apa, dimana, siapa yang adalah fakta) dan mungkin saya memang tidak tahu apa-apa. Mungkin saya bisa membela diri dengan kata-kata pak rektor, itu ilmu pasti kah? Bahkan dalam ilmu pasti mesin yang terkalibrasi secara maksimal pun sudah memperhitungkan nilai error yang terjadi. Jadi bagaimana dengan ketidakpastian? seberapa besar error yang mungkin. Manusia yang sosio bukanlah mesin yang diprogram dengan sedetil mungkin. Manusia yang satu belum tentu sama dengan manusia lainnya. Kalau mesin dirancang dengan memperhatikan keadaan lingkungan dan error yang mungkin terjadi, manusia sangat mungkin mengalami influktuasi yang drastis karena lingkungannya, dan mungkin saja dalam satu kondisi manusia A mengalami jenis effect yang berbeda dengan yang lainnya.
Di lain kesempatan saya beradu argumentasi dengan teman yang punya passion di bidang biologi dan kedokteran. Saya menyampaikan apa yang pernah saya dengar dari sebuah acara televisi (tentu saja bukan buah pemikiran saya, yang artinya itu adalah fakta) yang dipresenteri oleh seorang dokter kenamaan (dr. Hembing). Reaksinya tentu saja teman saya mempertahankan idenya bahwa hal itu (yang saya ungkapkan tadi) tidaklah logis dan medically unrelated. Yang saya pikirkan waktu itu, yah mentang-mentang kamu yang punya cita-cita sedangkan saya yang tidak punya passion sama sekali. Saya thinking positively saja kemungkinan besar dia tidak tahu dr. Hembing, maklum anak-anak dulu siapa sih yang tertarik menyaksikan acara-acara talkshow, saya juga terpaksa menontonnya (because of my mum and she said after that show.."dengar itu jangan makan es melulu" and then she would always heat the food before supper).
Sebagai refleksi saya saja -hal ini pun sering terjadi pada saya- kita benar-benar ingin expert di bidang kita sendiri, merasa malu kalau ada orang yang dari bidang lain yang mungkin punya informasi lebih tentang bidang kita. Tapi sebenarnya dengan malu kita sama saja dengan  yang disebutkan oleh sang seniman tadi, orang-orang dengan IQ Melati, yang menganggap bahwa sesuatu hal hanya bisa dipandang secara teknis dan mengabaikan unsur-unsur pembentuk lainnya (hal yang mungkin bukan expertise kita). Intinya, selalu sadari bahwa kita punya kekurangan, meskipun kita terkadang tak tahu dimana kekurangan kita hehehe. Layaknya perspektif dan dimensi, terkadang 3D lebih efektif dibanging 2D, jangan dipandang dari satu sisi saja meskipun itu yang paling menonjol.