Mengatur waktu itu sulit, tetapi lebih sulit untuk tetap bertahan dengan komitmen yang sudah kita buat. Sudah seminggu lebih saya tidak nge-blogging. Alasannya, yah sekitaran sibuk. Mungkin bukan sibuk, tetapi banyak hal-hal yang mengalihkan perhatian saya. Saya banyak kehilangan me-time.
Seminggu ini, bacaan fiksi saya nganggur begitu saja, adapun dibaca sedikit-sedikit dan lompat dari satu halaman ke halaman lain. Rasanya sedikit kesal juga 'cause it's my vacation, dan selama ini cuma seminggu rasanya saya punya me-time. At last saya masih bisa commit sama satu target saya selama liburan ini, mencoba hidup sehat hehehe - dalam istilah yang lebih manusiawi.
Last week, i went to the bookstore -again- trying to look for the new-released books. Hmmm makin banyak buku-buku yang baru rilis dengan kualitas yang lumayan bagus lagi. Belum sempat rampung dengan Lalita, saya akhirnya picking up -untuk yang kesekian kalinya- komik Hai, Miiko, Namaku Miiko dan novel lini Amore Hawa oleh Riani Kasih. Sesampainya di rumah saya bingung buku-buku saya semakin menumpuk dan belum terpikir akan diletakkan dimana.
By the way, i just love books so much. Bahkan untuk buku-buku textbook dan lainnya yang sebenarnya jarang dipakai. Misalnya textbook dengan tebal minimal enam sentimeter (copy) dan hanya dipakai untuk satu semester saja, rasanya sayang untuk dibuang. Saya malah kepikiran ingin menyimpannya saja selama-lamanya. Saya bahkan masih meyakini mungkin semua textbook itu akan terasa berguna di tahun-tahun terkahir perkuliahan, no wonder, pasti butuh banyak referensi.
Akhir-akhir ini saya sedang berkutat dengan buku rohani Purpose Driven Life. Dari judulnya bisa saya alih-bahasakan : Hidup yang didasari oleh tujuan. Saya ingin berbagi sedikit mengenai buku ini, lebih ke refleksi hidup sehari-hari.
Pada suatu ketika, kita sering ditanyakan apa yang menjadi tujuan hidup kita di dunia ini. Ada yang menjawab : ingin menjadi sukses, menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa, hidup bahagia (yang paling cliche, karena mencakup segala-galanya mungkin) dan masih banyak lagi. Dalam buku ini kita ditanyakan lagi, ketika kita menciptakan sebuah instrumen misalnya, siapa yang mengetahui tujuan dibuatnya instrumen tersebut? Mungkinkah instrumen (alat) itu sendiri, atau the creator, kita sendiri?
Dari sini saya manggut-manggut- Oiya. The creator knows what for we are made. Tuhan yang menciptakan kita, sehingga Dia tahu untuk apa kita diciptakan. Jadi, supaya kita tahu tujuan hidup kita, tanyakan semuanya pada Tuhan. Satu hal yang pasti, tujuan kita diciptakan ialah : kita hidup bagi-Nya. Hidup bagi-Nya bukanlah hidup yang senantiasa beroleh kebahagiaan dan kesenangan, terkadang untuk mencapai tujuan hidup, kita harus melalui penderitaan dan banyak masalah. Namun itu semua merupakan proses yang nyata bagi kehidupan kita yang lebih baik. Selalu baik bukanlah hal yang benar-benar baik, namun melakukan hal yang baik adalah hal yang baik karena penderitaan dan masalah pun merupakan hal yang baik untuk kita belajar dan mengalami.
In the end of July i stood and say, this month's gone so fast, but i'd grabbed the most valuable thing: never had such a moment in vacations.