Suatu hari saya berkunjung ke toko buku tak jauh dari kampus saya. Waktu itu tujuan awal saya ialah hanya untuk mencari komik seperti Detective Conan. Memasuki bangku kuliah, awalnya belum ada ketertarikan untuk novel-novel dengan genre romance seperti Metropop atau yang lainnya. Preferensi saya mungkin masih berkutat pada komik atau cerita layaknya roman dulu, atau mungkin sebuah sastra yang mudah dipahami juga.
Singkat cerita saya menemukan sebuah rak buku yang diisi dengan berbagai novel dengan penulis yang sama. Saya pikir buku-buku tersebut tentunya bukan debut lagi, mengingat saya belum pernah mendengar nama penulisnya, yaitu Tere-Liye. Akan tetapi, saya sangat tertarik untuk membeli salah satunya dengan cover yang cukup menarik, yaitu Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah. Namun entah mengapa di saat-saat terakhir (menentukan pilihan), i just pick another book, Sunset bersama Rosie. Saya membuka contoh buku yang disediakan. Well, halaman pertama.. gaya penceritaannya layaknya novel terjemahan. Saya akhirnya memutuskan untuk membeli buku yang satu lagi bulan depan saja.
Okay, buku ini menceritakan tentang persahabatan yang terjalin antara tokoh utama, yaitu Tegar, Rosie dan Nathan. Hal pertama yang terpikirkan dengan nama-nama tersebut ialah wow, tokoh Tegar ini dari namanya rada-rada low profile, hahaha.
Tegar dan Rosie sudah berteman semenjak mereka kecil di pulau Lombok, sama-sama menjadi anak yang tidak lagi dapat merasakan kasih sayang dari orangtua masing-masing. Oma, nenek Rosie merupakan satu-satunya orang yang dapat mencurahkan kasih sayangnya bagi mereka berdua.
Yah, pernah ada yang bilang bahwa tak ada persahabatan yang sempurna, sama halnya dengan Tegar dan Rosie. Tegar sudah lama menyimpan perasaan cintanya pada Rosie, sampai pada akhirnya ketika mereka sama-sama menempuh perkuliahan di Bandung dan mendapat teman baru, Nathan, Tegar berniat untuk menyatakan perasaanya saat mereka mendaki gunung Ranjani.
Sayangnya niat Tegar akhirnya padam begitu menyadari ia kehilangan kesempatan untuk menyatakan perasaannya saat ia mendengar sendiri Rosie menerima pernyataan cinta dari Nathan. Tak ayal, hal tersebut membuat Tegar sakit hati dan ia dengan tiba-tiba menghilang dari Rosie, Nathan ataupun dari kenangan masa kecilnya di Lombok.
Setelah bertahun-tahun bersembunyi dari kenangan masa lalunya dan hidup dalam sakit hatinya, akhirnya rasa sakit itu berangsur sembuh ketika Rosie yang telah menikah dengan Nathan mendatangi Tegar tanpa merasa mereka telah melakukan sebuah- yang menurut Tegar- kesalahan. Kehangatan keluarga baru Rosie pada Tegar ditambah dengan anak-anak perempuan yang manis, cerdas dan berhati tulus hasil pernikahan Rosie dan Nathan. Tegar bahkan mulai membuka hatinya untuk wanita lain, Sekar. They've got a tie, again.
Sampai disitu ceritanya sebenarnya biasa saja, persahabatan, cinta, dan sakit hati. Mungkin hal yang berbeda di sini adalah akhirnya Tegar dapat menemukan waktu saat dia tidak lagi menyimpan rasa sakitnya dan mungkin perasaannya pada Rosie berubah. A little bit interesting.
Persahabatan yang kembali dijalin Rosie, Tegar dan Nathan tersebut ternyata tak berlangsung lama. Novel ini melibatkan sedikit unsur fakta dimana ceritanya dihubungkan dengan bom Bali pada tahun 2002. Tragedi tersebut merusak kebahagiaan keluarga Rosie. Nathan tewas dalam tragedi tersebut, sementara Rosie akhirnya mengalami trauma dan depresi yang sangat mendalam hingga ia membutuhkan penanganan dalam jangka waktu yang sangat panjang sehingga ia harus vakum dari posisinya sebagai seorang ibu rumah tangga tanpa suami.
Kekosongan sosok ibu bagi anak-anak Rosie membuat Tegar secara voluntarily mengisi mengisi posisi Rosie, dan voluntarily memberikan kasih sayangnya layaknya orang tua bagi anak-anak Rosie. Saya katakan demikian karena sebenarnya Tegar dapat memilih, tak ada yang memaksanya untuk menggantikan posisi Rosie, he just wanted that so much.
Jujur saja, sampai pada bagian tersebut, saya belum dapat menebak bagaimana akhir dari cerita ini nantinya, dan sampai pada bagian ini pula saya mulai kehilangan semangat untuk menlanjutkan ceritanya, padahal saya belum sampai ke bagian pertengahan.
Cerita ini mungkin sangat menyedihkan apabila menjadi kenyataan, tapi saat membacanya saya tidak bisa ikut untuk meresapi kesedihan para tokohnya disini.
Setelah saya melanjutkan sampai beberapa halaman lagi, akhirnya saya memutuskan tidak membaca buku ini lagi. Secara personal, saya tidak menyukai tokoh-tokoh yang ada dalam buku ini karena menurut saya terlalu sintetik, kurang alami. Ada beberapa buku yang ditujukan untuk ditarik hikmahnya, ditarik sebuah pelajaran, dan mungkin buku ini salah satunya, tapi saya rasa ini sedikit ya..unnatural.
Dari segi penceritaan sebenarnya penulisnya dapat diacungi jempol, kata-katanya mostly baku dan general, cocok dibaca oleh banyak kalangan. Hal yang menurut saya kurang alami itu adalah karakter dari anak-anak Rosie yang mana di usia mereka yang terbilang masih kecil, mereka digambarkan layaknya orang dewasa, pola pikir mereka juga layaknya orang dewasa. Menurut saya anak-anak hanyalah anak-anak, polos, innocent. Sesulit apapun masalah yang dialami, saya pikir anak-anak akan tetap berpikir untuk bermain dengan teman-temannya, tidak ambil pusing dengan apa yang dialaminya, atau bagaimana kondisi keluarga. Saya cuma berusaha realistis. Cukup logis kalau salah seorang anak dari keempat anak Rosie bertingkah laku layaknya orang dewasa, saya rasa masih realistis, masalahnya keempat anak Rosie punya pola pikir seperti orang dewasa. Akhirnya saya mulai berpikir, semakin lama ceritanya justru semakin mirip sinetron. No offense hehehe.
I didn't end up with left curiousity. Saya ambil sneak peek ke halaman terakhirnya. Don't worry, it ended happily with Tegar married to Rosie.
Ada satu quote dari novel ini (saya agak lupa kalimat yang sebenarnya) yang menurut saya cukup tracing in my mind, kembali lagi ke persahabatan yang tidak sempurna tersebut, because you loved her so much, you'd never given her chance to love you, to feel how would it be goin' if you're not around. If you love someone, there shouldn't be 'yes' all the time, there's a time when you'd better say 'no'.