"tak ada satu kalimat yang tak berwujud pengamatan yang cemerlang; dalam arti tertentu beberapa cerpen Sitor adalah sebuah masterpiece."
Denys Lombard dalam Histoires Courtes d'Indonesie
"dalam kesusastraan Indonesia modern, sejumlah cerpen Sitor tidak ada bandingannya...pantas memeproleh tempat dalam sebuah antologi cerita pendek Barat."
A. Teeuw dalam Modern Indonesian Literature
"Salah seorang cerpenis Indonesia terpenting yang memungkinkan kita dari cerpen-cerpennya memperoleh nilai tambah pengetahuan latar belakang kebudayaan, di samping, kita juga bisa belajar dari pengalaman tokoh-tokohnya."
Harry Aveling dalam Rumah Sastra Indonesia
Oke, kembali lagi saya mengurusi blog ini setelah hiatus kembali selama kurang lebih hampir setengah bulan ini. Kali ini saya mau me-review mengenai buku yang pernah saya baca, yaitu: Ibu Pergi ke Surga, sebuah buku kumpulan cerpen milik Sitor Situmorang. Cover buku ini memperlihatkan gambar seorang wanita setengah baya yang berdiri dengan kaki telanjang, rambutnya disanggul ke belakang, mengenakan pakaian hitam dilapisi oleh kain ulos dan selendang ulos yang tersampir di bahu kanannya.

Namun yang menarik saya untuk membeli buku ini ialah karena cerpen-cerpen Sitor Situmorang bisa jadi merupakan peralihan sastra Indonesia. Waktu saya duduk di bangku SD dulu saya beberpa kali membaca roman angkatan Balai Pustaka yang bahasanya sekarang ini mungkin kita sebut nyastra karena waktu itu (Balai Pustaka) memang masa-masa kesusastraan Indonesia sedang bertumbuh dengan banyaknya kehadiran para sastrawan nasional. Kalau di buku ini kesan saya ialah seperti tadi cukup nyastra ditambah dengan sebuah modernitas dengan cakupan isi ceritanya yang -ehm, berbeda jauh dengan roman-roman dulu.
Isi cerita pendek Sitor Situmorang ini mengingatkan saya terhadap novel-novel karya N.h Dini. Jelas sudah Sitor Situmorang masih terbilang lebih senior dari N.h Dini,namun menurut saya keduanya hampir-hampir seangkatan dalam peralihan sastra Indonesia.
Actually, i don't really get the definition of sastra. Kalau saya sendiri sih - dan mungkin seperti orang kebanyakan- mengindikasikan sastra dari bahasa yang digunakan, misalnya bahasa Indonesia yang utuh dengan ejaan yang dasar. Secara sastra bukanlah cakupan expertise saya, saya rasa masih ada unsur-unsur lain yang membentuk suatu karya sastra-- bahasa yang nyastra, katanya.
Kesamaan lain dari cerpen-cerpen Sitor Situmorang dengan N.h Dini adalah sudut pandang sang penulis dalam pembentukan cerita. Ada istilahnya untuk itu yang pernah saya baca, tetapi agak lupa. Yang jelas pembaca akan merasa bahwa seakan-akan penulis sedang membicarakan tentang dirinya sendiri. Dari semua cerpen yang saya baca memang menceritakan seakan-akan tokoh utamanya ialah penulisnya sendiri -- pria dan pribumi (meskipun latar belakang ceritanya dari Asia hingga ke Eropa). Selain itu, Sitor juga banyak memasukkan unsur kebudayaan Batak di dalam ceritanya -- secara beliau memang orang Batak -- salah satunya cerpen Ibu Pergi ke Surga.
Cerpen Ibu Pergi ke Surga menceritakan tentang tipikal keluarga Batak yang hidup di sekitar Danau Toba. Dari cerpen ini, Sitor banyak mengungkap bagaimana kehidupan orang Batak yang dikaitkan dengan unsur sosial dan agama. Secara saya juga orang Batak, saya mengerti bagaimana kekerabatan dalam Batak itu sangat penting.
Ibu pergi ke surga menceritakan sebuah keluarga Batak dimana si Ibu yang sekarat dan akhirnya meninggal dunia, sementara kedua anak lelakinya telah merantau ke Pulau Jawa dan mendirikan keluarga disana. Perantauan si anak yang terbilang jauh tentu saja menghalanginya dan kedua orang tuanya bertemu. Si anak tertua (tokoh utama) menyempatkan diri seorang -- tanpa membawa anak isterinya -- untuk pulang ke kampungnya di Tapanuli setelah mendengar ibunya jatuh sakit. Tak disangka kunjungannya merupakan pertemuan terakhir dengan sang ibu. Setelah beberapa hari si anak di kampung, ibunya menghembuskan nafas terakhir, maka si anak memperpanjang lagi keberadaannya di kampung sampai si ibu dimakamkan.
Dalam tradisi orang Batak yang saya tahu, apabila seorang yang telah berkeluarga meninggal dunia, maka dia akan dimakamkan setelah semua anak-anaknya dan sanak saudara berkumpul. Kalau dulu sih yang pernah saya lihat ada yang sampai seminggu karena harus menunggu kehadiran anak-anaknya dari perantauan. Biasanya semua orang yang berada di kampung tersebut, termasuk juga di kampung sekitarnya akan datang melayat ke rumah duka bahkan bisa jadi sampai yang meninggal dunia telah dimakamkan. Dalam pelayatan biasanya dilakukan sebuah kebaktian kecil yang tujuannya untuk mendoakan dan memberikan penghiburan kepada keluarga orang yang meninggal.
Yang menarik tentang cerpen ini ialah bagaimana kita dapat mengetahui kehidupan keluarga Batak. Sitor Situmorang menyampaikan pikirannya secara implisit, tidak dengan gamblang, mana yang salah atau yang benar, cukup dengan cerita. Dan itu memang dinamika orang Kristen di Tanah Batak, yang bahkan sampai hari ini pun saya yakin masih ada yang sedemikian. Sebelum Kristen masuk ke Tanah Batak, orang-orang Batak masih menganut animisme dan dinamisme, yang terutama ialah bahwa mereka mempercayai bahwa roh orang yang sudah meninggal masih ada di bumi ini untuk mengawasi anak cucunya. Dari cerpen ini ditunjukkan bahwa meskipun orang-orang Batak telah mengalami Kristenisasi, namun masih ada beberapa yang tidak bisa lepas dari tradisi yaitu masih mempercayai kekuatan supranatural dan hal-hal gaib. Intinya, mereka mengaku mempercayai Tuhan, tetapi merasa belum sanggup meninggalkan hal-hal gaib yang telah lama diturunkan pada mereka. Sementara itu sang tokoh --dari penggambaran wataknya -- mungkin merupakan orang yang telah dididik oleh kelogisan dan modernitas, mungkin dia masih mempercayai Tuhan, namun ia tak begitu suka beragama. Sementara itu, tokoh si ibu adalah tokoh yang ideal, berlawanan dengan si bapak yang masih percaya takhayul, si ibu sangat menentang hal-hal gaib dan ia rajin pergi ke gereja. Orang-orang tipikal si ibu ini saya percaya masih banyak di Tanah Batak, sering kali tanpa disadari merekalah yang menjadi fondasi sebuah rumah tangga, mereka (dengan dasar agama yang kuat) yang --secara tidak disadari, sekali lagi -- paling berperan dalam pembentukan akhlak si anak seberapa keraspun mereka mungkin bekerja di ladang, masih sanggup untuk mengurus kebutuhan rumah tangga dan perekonomian keluarga. Agak tersentuh dengan bagian yang ini: ketika si ibu tidak ada lagi dan si bapak masih hidup, kemungkinan si bapak juga akan segera menyusulnya. Kesannya betapa kuat dan esensial peran seorang ibu dalam rumah tangga, dimana-mana juga pasti begitu. Saya bangga jadi perempuan Batak, bangga menjadi orang Indonesia hehehe.
Kalau kita lihat lagi, tokoh anak, ibu, dan bapak ini merupakan tokoh-tokoh dengan cara pandang sendiri yang berbeda-beda, namun merekalah yang mewakili banyak orang-orang Batak pada umumnya. Si anak yang tersentuh pendidikan dan kemajuan akan tetapi mulai meragu mengenai kepercayaannya akan Tuhan, sementara ibu dengan kekolotan dan kepolosannya mendasarkan hidupnya pada ajaran agama yang benar, sementara si bapak sang kepala keluarga yang dihormati -- hmm antara ya atau tidak, antara ingin dan tidak ingin-- kalau saya lihat sih bapak merupakan tokoh politik yang suka bernegosiasi, agama ya tapi nanti dulu, gaib ya (produk dari kecenderung ingin instan).
Selain cerpen ini, masih banyak lagi cerpen-cerpen yang ditulis oleh Sitor Situmorang. Selain cerpen, beliau juga menciptakan banyak puisi. Satu pelajaran yang mungkin bisa kita ambil dimana hal ini sering sekali diutarakan pada masyarakat Batak yang mungkin juga sering kehilangan sebuah esensi daripada menghormati orang tua. Dalam tradisi Batak menghormati orang tua adalah salah satu hal yang paling penting, begitu pula agama mengajarkannya. Namun sering kali kita menjadikan tradisi hanya sekilas tradisi sehingga kesannya kita tidak melakukannya dengan hati kita. Kalau kita ingin membahagiakan orang tua kita, lakukan di kala mereka masih hidup, bukan ketika mereka tidak merasakan apa-apa lagi di duia ini. Love them out of tradition, but because you're really love them! Semua orang ingin berada di samping orang-orang yang dicintainya dan mencintai mereka saat mereka meninggalkan dunia ini.