
Sebenarnya membaca buku ini agak tersendat-sendat karena ehm, jujur saja saya lebih tertarik akan hubungan para tokoh utamanya: Marja, Parang Jati, dan Sandi Yudha. Jadi ada beberapa scene yang agak kurang menarik, ya saya hiatus sejenak dan mencoba menyelingi dengan novel lain yang yah, not too complicated, ringan-ringan saja membacanya. Overall, i really enjoyed this book, so much.
I didn't mean that this one's too complicated. Ayu Utami bahkan menyatakan bahwa novel seri pertama Bilangan Fu ini lebih ringan dibanding novel utamanya, Bilangan Fu sendiri dan saya rasa pun begitu, so far tidak ada yang salah, meskipun saya belum pernah membaca novel utamanya itu.
Sekilas mengulas tentang sang penulis, saya pertama dengar Ayu Utami waktu saya masiiih kecil sekali dan melihat fotonya di salah satu rubik sebuah majalah. Ayu Utami, penulis.Sekarang ini i just got to know bahwa Ayu Utami ternyata dulu benar-benar lagi happening dengan roman Saman.
Beberapa bulan lalu saya mencoba mencari-cari novel utama Bilangan Fu, tetapi tampaknya tidak cetak ulang lagi, jadinya saya memilih picking up Saman. No wonder it was such a hit, bahkan sampai hari ini pun karena novel Saman terbilang sangat berani untuk rilis di jamannya, banyak menguak hal-hal yang selama ini terasa tabu dalam masyarakat kita, even me for some parts of the book. Novel atau roman karangan Ayu Utami sangat menunjukkan sisi feminismenya. Kenyataannya memang, dalam masyarakat kita kaum perempuan seringkali menjadi pihak yang dirugikan. Setelah membaca novel-novelnya, semakin banyak pula pertanyaan yang selama ini mungkin tak terpikirkan: mangapa harus perempuan, kenapa berlaku pada perempuan saja, kenapa tidak sama halnya dengan lelaki?
Novel Manjali dan Cakrabirawa ini menurut saya cukup berbeda dengan novel Saman. Saya sangat menikmati unsur kebudayaan dan sejarah yang dibawakan Ayu Utami dalam novelnya, membuat saya penasaran dan go googling untuk melihat lagi sejarah Indonesia. A good triggering.
Novel ini bercerita mengenai persahabatan antara Sandi Yudha, kekasihnya Marja Manjali dan sahabat panjat tebingnya, Parang Jati. Namun untuk seri pertama ini, kisah tokoh Marja dan Parang Jati yang paling banyak diulas.
Dalam masa liburan, Yudha menitipkan Marja Manjali kepada sahabatnya, Parang Jati. Marja Manjali merupakan tipikal gadis kota yang tidak tidak terlalu ambil pusing dengan sejarah-sejarah bangsa ini, sementara Parang Jati adalah pecinta alam yang dikagumi Yudha, kutu buku berjari duabelas dan memiliki mata bidadari. Ketiadaan Yudha membuat Marja mulai merasakan ketertarikan yang kuat akan pesona pemilik mata bidadari, Parang Jati. Keduanya pun mulai melakukan perjalanan yang banyak menguak kebudayaan dan sejarah. Oleh Parang Jati, Marja semakin terbuka matanya akan banyak cerita, rahasia dan sejarah yang lama terkubur. Disamping itu semua Marja sangat menikmati kebersamaannya dengan Parang Jati.
Novel ini ujung-ujungnya merupakan petualangan dalam pemecahan teka-teki. Saya sangat suka gaya penulisan Ayu Utami yang -menurut saya- puitis tetapi tidak lebay, mengalir dan mudah dimengerti pada beberapa bagian saya merasa dapat tersirap di dalamnya, ikut tertawa, ikut merasakan apa yang dirasa Marja ketika berada di samping Parang Jati hehehe. Selain itu banyak penggunaan analogi yang menurut saya lagi terasa lebih 'berisi'. I don't really know to say what i was feeling about this book .
A book is good as long as you can feel it. Saya sangat menyukai cara Ayu Utami dalam pemecahan teka-teki Manjali dan Cakrabirawa, yaitu kesamaan pola antara Manjali dan Cakrabirawa jaman Airlangga dengan Gerwani-Cakrabirawa pasca G.30 S/PKI. Yang paling saya nikmati, like the other girls who have read, Parang Jati tentunya. Awalnya saya lebih suka tokoh Sandi Yudha yang terkesan dikhianati kekasihnya, tetapi this gorgeous man Parang Jati merupakan sosok yang cerdas, tidak pernah meminta, senantiasa memberi (seperti kasih Ibu), tidak egois dan blah..blah..blah.. like the man the other girls ever wanted and desired.
At least, again i really recommend this book. Banyak kalimat yang cocok dijadikan quote. Satu pelajaran nyata yang mungkin bisa kita tarik adalah masalah pengampunan. Peristiwa G.30S PKI mungkin jadi salah satu sejarah paling buruk di Indonesia yang dulu mungkin membuat geram orang-orang. Namun kita tidak pernah terpikir bagaiman nasib keluarga pelaku peristiwa itu setelahnya. Penumpasan besar-besaran wajib untuk orang-orang yang punya andil bahkan sekedar tali tipis penguhubung dengan PKI. Tak menutup kemungkinan banyak juga orang yang menjadikannya sebagai alat balas dendam. Dari cerita di novel ini saya bisa bilang tragedi dibalas tragedi, penyiksaan dibalas penyiksaan. Kita boleh bersyukur kalau aliran komunisme ternyata tidak sanggup meruntuhkan idealisme negara, akan tetapi sebagai negara demokrasi kita juga harus memperhatikan aspek hukum yang berlaku. Menurut saya hukum dijalankan pada orang-orang sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya, yang artinya berkeadilan, tidak mungkin semua orang dengan level pelanggaran yang berbeda-beda, namun mendapatkan hukuman yang sama. Intinya sih, mungkin lebih kepada strukturisasi dan perbaikan tata hukum negara kita. Yah, terkadang kita sering menyalahartikan wewenang sebagai kuasa, hak, bahkan ujung-ujungnya terkesan sebagai wewenang yang tidak sesuai prosedur hukum. Am just saying. Wewenang yang disalahgunakan.
"Jika kebetulan terjadi terlalu banyak, apakah kamu percaya bahwa itu tidak bermakna?"
"...kita mungkin tak punya kemampuan untuk mengampuni. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai"