Senin, 02 September 2013

Bilangan Fu

Suatu hari saya kembali lagi mengunjungi toko buku terdekat untuk melihat buku-buku apa yang kira-kira cocok untuk dibeli dan dibaca.



Awalnya saya ingin membeli buku karangan Ayu Utami, Cerita Cinta Enrico, namun tiba-tiba mata saya tertuju pada buku tebal di sampingnya. Buku induk Bilangan Fu!!!!
Selama ini saya sudah search melalui web apa kira-kira buku tersebut masih ada di jual di toko-toko Gramedia, ternyata tidak diterbitkan lagi, dan memang dari kedua buku yang saya temukan, tidak lagi bersampul dan kertasnya agak-agak kekuningan sebagai bukti telah lama disimpan dalam ruangan yang agak lembab sehingga menghasilkan reaksi kimia (asam) pada permukaannya, buktinya di beberapa bagian yang terkspos dengan udara timbul warna kekuningan.

But who cares, setidaknya saya dapatkan buku edisi pertamanya. Dari twitter kemarin-kemari saya tahu bahwa Ayu Utami akan meluncurkan sequel buku Bilangan Fu atau seri ketiganya, yaitu Maya bersamaan dengan buku induk Bilangan Fu. Ternyata masih ada juga orang seperti saya yang penasaran sekali dengan buku induk ini.

Okay, it lasted for just a few days, dan saya tidak lagi begitu tertarik dengan buku induk ini, karena sejujurnya agak berat dan lebih banyak lagi menggali bahasa-bahasa yang menurut saya agak filosofis, sehingga saya sendiri kurang menikmatinya atau sekedar melewatkannya karena tidak begitu saya mengerti artinya. Tokoh-tokohnya tetaplah Sandi Yuda, Marja, dan Parang Jati. Saya sekarang pun masih sampai pada bagian petualangan Sandi Yuda dan Parang Jati di Watugunung, kira-kira maish seperlima dari bagian buku secara keseluruhan. Yang mungkin saya sedikit nikmati adalah jokes buku ini yang natural, terutama pemikiran dari Sandi Yuda yang manusia sekali.

Hal yang membuat saya sedikit megerutkan dahi adalah karakter dari Parang Jati. I don't know why, but he seems not as the same as the real Jati i've found in the two other books. Maksud saya, it seems not him at all. Parang Jati mungkin masih sama, dengan pemikiran dan pengetahuannya yang luas dan ketertarikannya akan preservasi dari budaya. Kemudian saya lihat kembali di twitter yaitu informasi dari Ayu Utami bahwa ketiga buku Bilangan Fu yang telah terbit tersebut tidaklah kronologis atau sederhananya berurutan waktunya, untuk itu dapat dibaca dengan dari yang lebih ringan terlebih dahulu, yaitu Manjali dan Cakrabirawa, kemudian Lalita  dan terakhir Bilangan Fu. Tak heran, karena urutan bacaanya juga sama dengan yang saya lakukan, sehingga saya sudah tersihir dulu (agak lebay) dengan buku seri pertama  Manjali dan Cakrabirawa

Permulaan buku Bilangan Fu  ini lebih menceritakan mengenai awal pertemuan dari Sandi Yuda dan Parang Jati yang tidak disengaja. Keduanya adalah mahasiswa di Bandung, namun tidak pernah bertemu sebelumnya. Sandi Yuda adalah seorang pemanjat tebing yang lebih suka menempatkan dirinya jauh dari keramaian dan keriuhan kota. Dia dan teman-teman segeng pemanjatannya sering berkelanan dari satu tebing ke tebing lagi untuk melakukan pemanjatan. Sementara itu Parang Jati adalah mahasiswa Geologi ITB anak angkat seorang  spiritualis di daerah tempat Watugungung bernyanyi,  yaitu Suhubudi yang disegani masyarakat setempat. Parang Jati suka menggabungkan prinsip ilmu tanah yang dikelutinya dengan budaya atau cerita rakyat yang sering disangkut pautkan dengan terjadinya sebuah tempat. Kalau menurut saya, Parang Jati itu lebih kepada seorang Arkeolog, namun dengan dia belajar geologi, Parang Jati mungkin tahu dan berusaha untuk mengembangkan preservasi terhadap peninggalan yang bersejarah secara fisik, termasuk dengan cerita-cerita atau budaya yang berkembang dalam masyarakat. 

Overall, buku ini memang tak diragukan lagi, begitu pula dengan kemampuan Ayu Utami dalam menggali dan mengembangkan satu topik ke topik lain. Bilangan Fu ini sarat dengan kebudaayaan dan cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat, kalau di Indonesia tentu saja lebih bersifat mistis apabila suatu kejadian dikaitkan dengan kepercayaan leluhur rakyat. Intinya, meskipun orang-orang Indonesia telah memeluk ajaran agama, bahkan telah mengetahui apa yang dipantangkan atau yang tidak, masyarakat masih merasa tidak nyaman kalau mereka meninggalkan takhayul, sederhananya masih ada saja orang-orang  yang menaruh percaya kepada takhayul, hal-hal berbau mistis dan lain-lain.

I recommend this book to readd, yahh meskipun mungkin agak tersendat-sendat membacanya. Saya tidak sabaran lagi menunggu Maya, karena katanya lebih banyak membahas petualangan Parang Jati. Mungkin yang membuat saya tertarik dengan Parang Jati - meskipun dia lebih banyak dibahas dalam Manjali dan Cakrabirawa - namun saya masih belum bisa membaca pikiran dari Parang Jati (agak lebay dan melankolis). Di buku induk Bilangan Fu, memang penceritaanya mengambil sudut pandang orang pertama, yaitu Sandi Yuda,sehingga tentu saja saya belum bisa mengetahui apa yang dipikirkan Parang Jati hehehehe.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar